Dumai, PresisiPos.Com — Spekulasi dan drama panjang kasus pemalsuan surat tanah yang menghebohkan publik Dumai akhirnya mencapai klimaks. Terdakwa Inong Fitriani, sosok yang sempat didorong sebagai "korban mafia tanah" oleh sejumlah tokoh politik dan opini media sosial, akhirnya divonis 7 bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Dumai, Jumat (1/8).
Putusan perkara pidana Nomor: 134/Pid.B/2025/PN.Dum itu dibacakan langsung oleh Ketua Majelis Hakim Taufik Nainggolan, S.H. Dalam amar putusannya, hakim menyatakan bahwa Inong terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pemalsuan dokumen surat tanah yang berlokasi di Jalan Sudirman, samping Gang Baru, Kelurahan Bintan, Dumai Timur.
Vonis 7 bulan itu lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang sebelumnya menuntut 1 tahun penjara. Namun, fakta hukum telah berbicara: Inong bukan korban, melainkan pelaku.
Kasus ini sempat menggiring opini publik ke arah yang keliru. Sejumlah pihak bahkan mengangkat narasi bahwa Inong adalah korban kriminalisasi dan konspirasi mafia tanah. Seorang anggota DPR RI, Ketua DPRD Kota Dumai, bahkan Sekda Kota Dumai sempat turun tangan dan terang-terangan membela Inong, mendesak agar ia dibebaskan.
Namun aparat penegak hukum (APH) memilih tidak tunduk pada tekanan kekuasaan. Mereka tetap berjalan di atas rel hukum tanpa kompromi, dan kini, pengadilan telah mematahkan narasi rekayasa tersebut.
Tak terima atas putusan hakim, Inong dan kuasa hukumnya Johanda Saputra, S.H. menyatakan akan mengajukan banding. Mereka menilai bahwa dakwaan JPU lemah karena saksi pelapor, Toton Sumali, tidak mampu menunjukkan dokumen asli sebagai dasar klaim kepemilikan. Namun argumentasi itu dinilai tidak cukup kuat untuk membantah bukti-bukti yang sudah terungkap dalam persidangan.
Pernyataan tegas disampaikan oleh kuasa hukum pelapor, Cassarolly Sinaga, S.H., M.H., yang sejak awal optimistis bahwa hukum akan menang dan Keadilan Tidak Bisa Dibeli atas Opini
"Saya sudah prediksi, terdakwa Inong tidak akan bebas. Jaksa telah membuktikan dengan jelas pemalsuan surat yang digunakan Inong Fitriani. Ini bukan perkara opini di media sosial, ini soal hukum yang punya fakta," tegas Cassarolly.
Kasus ini menjadi preseden penting bahwa opini liar di media sosial tidak bisa menggantikan fakta hukum di ruang sidang. Ketika narasi dipelintir dan dukungan politik coba digunakan untuk membelokkan keadilan, pengadilan akhirnya menjadi benteng terakhir yang membungkam manuver-manuver tersebut.
Inong Fitriani kini harus menjalani hukuman, bukan karena dibenci, tapi karena telah terbukti bersalah. (fu)