Kebiasaan dan praktik-praktik yang dilakukan dalam pembagian harta warisan pada masyarakat Minangkabau

Kebiasaan dan praktik-praktik yang dilakukan dalam pembagian harta warisan pada masyarakat Minangkabau

Warisan secara umum dipahami sebagai pengalihan/peralihan harta dari orang yang meninggal kepada ahli waris yang masih hidup. Ini adalah konsep warisan yang sah dalam Islam. Namun, dalam adat Minangkabau, warisan tidak dipandang sebagai pemindahan hak milik dan pembagian harta benda yang ditinggalkan oleh yang meninggal kepada ahli waris. Melainkan, warisan dilihat sebagai peralihan tugas dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pengurusan, penguasaan, dan pemeliharaan harta peninggalan, yang diteruskan dari generasi ke generasi yang masih hidup. Dalam adat Minangkabau, warisan diteruskan menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Namun untuk pembagian harta peninggalan pemeliharaan, tetap dilakukan menurut hukum Faraidh (hukum waris Islam).

 

Harta Pusaka Tinggi

Harta pusaka tinggi adalah harta peninggalan yang diperoleh oleh keturunan, baik keturunan awal maupun keturunan selanjutnya. Dalam adat Minangkabau, harta pusaka tinggi ini disebut juga sebagai "bundo kanduang" atau "kaum ibu". Harta pusaka tinggi ini tidak boleh diperjualbelikan, namun hanya bisa dimanfaatkan saja. Walaupun demikian, harta pusaka tinggi ini bisa digadaikan, tetapi harus dengan persetujuan dari seluruh anggota kaum (keturunan) yang berhak atas harta tersebut. Adapun 4 alasan yang dapat digunakan untuk menggadaikan harta pusaka tinggi, yaitu:

a. Untuk biaya pemakaman (maik tabujuah di ateh rumah)

b. Untuk membangun gelar pusaka keluarga (manggakan gala pusako)

c. Untuk biaya pernikahan anak gadis yang belum menikah (gadih gadang indak balaki)

d. Untuk membiayai perbaikan rumah gadang yang rusak (rumah gadang katirisan)

harta pusaka tinggi dalam adat Minangkabau memiliki aturan khusus dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan, dimana harta tersebut tidak boleh diperjualbelikan secara bebas. Harta pusaka tinggi dalam aturan waris adat Minangkabau adalah harta peninggalan dari nenek moyang yang diwariskan turun-temurun kepada anak cucu. Harta pusaka tinggi ini tidak boleh diperjualbelikan. Dalam adat Minangkabau, pewarisan harta pusaka tinggi dilakukan secara matrilineal, yaitu diturunkan kepada anak perempuan. Hal ini didasarkan pada ketentuan bahwa perempuan juga berperan dalam mencukupi kebutuhan keluarga.

Ketentuan ini berbeda dengan aturan waris dalam Islam, dimana laki-laki sebagai suami memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarga. Namun, praktik pewarisan adat Minangkabau ini diperbolehkan, karena merupakan aturan tata tertib yang tidak diatur dalam hukum Islam. Dalam kaedah ushul fiqh, dijelaskan bahwa hukum asal dalam mu'amalah (transaksi) adalah boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Oleh karena itu, praktik pewarisan adat Minangkabau yang berbeda dengan hukum Islam diperbolehkan, selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat.

 

Harta Pusaka Rendah

Warisan rendah adalah nafkah yang diperoleh ayah dan ibu, yang kemudian dibagikan kepada anak laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan waris dalam Al-Quran (ilmu faraid) atau berdasarkan permintaan orang tua. Masyarakat Minangkabau memberikan warisan ini berasal dari nenek moyang, karena dulunya pengetahuan masyarakat tentang ilmu faraid sangat terbatas. Adanya keterpaksaan di antara ahli waris juga menjadi alasan pemberian warisan ini. Menurut ulama setempat, tanah warisan bernilai sangat mahal, sehingga hasil penjualannya diberikan kepada orang-orang yang berkedudukan tinggi. Sementara properti di tanah warisan didistribusikan sesuai dengan aturan faraid.

Bentuk warisan adat Minangkabau ini merupakan warisan kolektif matrilineal, di mana harta peninggalan pewaris tidak bisa dibagikan, hanya hak pemakaiannya saja yang bisa diberikan kepada ahli waris perempuan yang berhak menurut garis keturunan ibu. Masyarakat Minangkabau tidak hanya menjalankan warisan adat, tetapi juga melaksanakan kewarisan sesuai dengan Islam, karena mereka pemeluk agama Islam. Jika harta warisan ini tidak dibagikan kepada anak cucu, maka harta warisan rendah tersebut akan otomatis menjadi harta pusaka tinggi.

 

Hubungan antara hukum Islam dan hukum adat dalam praktik pembagian warisan pada masyarakat Minangkabau

Sumber hukum adat adalah perilaku yang berulang-ulang dan dapat dididik agar dapat diterima dan diakui oleh masyarakat. Perilaku tersebut kemudian menjadi aturan yang diikuti oleh masyarakat. Selain itu, semua peraturan perundang-undangan, termasuk segala perubahan yang tercantum dalam Lembaran Negara, juga merupakan sumber hukum adat. Jadi, sumber hukum adat tidak hanya berasal dari perilaku masyarakat yang berulang-ulang dan diterima secara umum, tetapi juga mencakup seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu daerah.

Prinsip-prinsip Fundamental dari Hukum Warisan Adat

1. Prinsip Teokrasi dan Pemerintahan Sendiri, Prinsip ini menyatakan bahwa jika ada ahli waris yang meninggal, maka ahli waris yang tersisa harus mengajukan klaim atas harta warisan. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan di antara ahli waris saat pembagian harta warisan. Ini merupakan ketentuan dari Tuhan untuk semua ahli waris.

2. Asas Persamaan dan Timbal Balik, Karena kedudukan para ahli waris adalah sama, maka mereka tidak hanya memikirkan peningkatan harta warisan, tetapi juga pembagian harta warisan berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing.

3. Asas Kerukunan dan Kekeluargaan, Asas ini mewajibkan para ahli waris untuk memelihara kerukunan dan kekeluargaan secara damai.

4. Asas Pertimbangan dan Musyawarah, Asas ini mensyaratkan bahwa para ahli waris harus bermusyawarah dan mencapai kesepakatan dalam membagi harta warisan.

5. Prinsip Keadilan, Asas ini mensyaratkan bahwa semua ahli waris, bahkan yang bukan ahli waris, harus menerima haknya dengan adil.

 

Kesimpulan

bahwa masyarakat Minangkabau memiliki dua jenis kekayaan, yaitu warisan tinggi dan warisan rendah. Warisan tinggi berasal dari leluhur dan diwariskan melalui garis keturunan ibu atau anak. Warisan tinggi ini berupa simbol kebesaran seperti tanah, sawah, ladang, kebun, kolam, rumah Gadang, dan pakaian adat. Perempuan dalam masyarakat Minangkabau berperan penting dalam upacara adat karena memiliki hak atas warisan tinggi tersebut.

Penulis : Muhammad Habib Huzaihfa

Mahasiswa Universitas Andalas

Berita Lainnya

Index